'Aisyiyah

Gerakan Perempuan Muslim Berkemajuan

Berita
Januari Lahirnya Sang Pejuang Emansipasi Perempuan
03 Januari 2021 10:27 WIB | dibaca 374
Januari, Hari Lahirnya Sang Pejuang Emansipasi Perempuan
 
Nyai Ahmad Dahlan lahir dengan nama Siti Walidah pada 3 Januari 1872,  di Kauman, Yogyakarta,hari ini atau tepat 149 tahun silam. Beliau merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya, K.H. Muhammad Fadli, adalah seorang Kyai penghulu dan masih berkerabat dengan keluarga keraton Yogyakarta.
 
Beliau juga adalah salah satu tokoh pejuang emansipasi perempuan yang dimiliki Indonesia pada masa pergerakan nasional. Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan juga sekaligus merupakan istri dari pendiri Ormas Islam Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan.
 
Pernikahan
 
Pada ahun 1889, Siti Walidah melangsungkan perkawinan dengan Ahmad Dahlan yang saudara sepupunya. Setelah menikah, ia lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan. Nyai Ahmad Dahlan dan K.H Ahmad Dahlan kemudian dikaruniai 6 orang anak.
 
Dalam hidupnya Nyai Ahmad Dahlan selalu setia mendampingi suaminya dan Muhammadiyah. Bahkan, setelah KH. Ahmad Dahlan meninggal dunia pada 1923, ia terus aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah. Nyai Ahmad Dahlan wafat pada 31 Mei 1946 setelah turut memberikan sumbangsih kepada tokoh-tokoh bangsa yang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan.
 
Berjuang lewat pendidikan
 
Sopo Tresno
 
Dua tahun setelah berdirinya Muhammadiyah, Nyai Ahmad Dahlan bersama suaminya menginisiasi hadirnya Sopo Tresno pada 1914. Sopo Tresno merupakan semacam kelompok diskusi untuk mendalami makna Alquran, terutama ayat-ayat tentang perempuan. Sopo Tresno juga merupakan wadah bagi kaum perempuan untuk belajar membaca dan menulis serta mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
 
Aisyiyah
 
Pengajian ini semakin lama semakin berkembang merambah sampai Lempuyangan, Karangkajen, dan Pakualaman. Melihat Sopo Tresno semakin besar dan anggotanya pun kian bertambah. Maka, diputuskan untuk mengganti nama perkumpulan ini menjadi Aisyiyah,yang selanjutnya diresmikan pada 22 April 1917. Nyai Ahmad Dahlan kemudian ditunjuk sebagai pemimpinnya.
 
Tahun 1922, Aisyiyah resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah secara organisasi. Berdirilah sekolah-sekolah khusus perempuan di bawah naungan Aisyiyah. Nyai Ahmad Dahlan pun semakin giat memperjuangkan emansipasi wanita. Ia tidak setuju dengan konsep patriarki dan menilai seorang istri adalah mitra bagi suaminya. Dalam hidupnya Nyai Ahmad Dahlan juga menentang praktik kawin paksa.
 
Muhammadiyah yang kian berpengaruh dan semakin melekat dalam hati masyarakat, Aisyiyah juga tidak kalah untuk semakin besar. Anggotanya semakin bertambah banyak. Maka kemudian, dibukalah cabang-cabang Aisyiyah di berbagai daerah di Indonesia.
 
Sepeninggal wafatnya K. H Ahmad Dahlan pada Tahun 1923, Nyai Ahmad Dahlan melanjutkan perjuangan suaminya, baik di Aisyiyah maupun Muhammadiyah. Pada 1926, ia bahkan memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Nyai Ahmad Dahlan adalah wanita pertama yang memimpin pertemuan besar seperti ini. Kiprahnya pun diberitakan oleh berbagai surat kabar kala itu.
 
Masa pergerakan nasional
 
Setelah takluknya Belanda pada perang dunia pertama membuat Indonesia secara tidak langsung juga ikut merasakan dampaknya. Dimana sejak tahun 1942, wilayah Indonesia bukan lagi di bawah penjajahan Belanda, digantikan oleh pemerintahan militer Jepang. Hal ini kemudian juga turut membuat terjadinya perubahan-perubahan dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia. Aisyiyah yang merupakan salah satu organisasi masyarakat juga turut merasakan imbasnya, Aisyiyah kemudian dilarang oleh pemerintah Dai Nippon pada 1943. Namin begitu, Nyai Ahmad Dahlan tak langaung lutus asa. Ia selanjutnya bekerja di sekolah-sekolah bentukan Jepang, dengan niat untuk mendidik langsung anak-anak Indonesia.
 
Selain hal itu, Nyai Ahmad Dahlan juga menentang sejumlah ritual-ritual yang dipaksakan pemerintah militer Jepang kepada rakyat Indonesia, termasuk menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, menghormat ke arah matahari serta bendera Jepang, dan lain-lain.
 
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Belanda datang lagi dengan maksud ingin kembali menguasai Indonesia. Nyai Ahmad Dahlan turut berjuang mempertahankan kemerdekaan dan sering dimintai nasihat oleh para tokoh bangsa termasuk Presiden Sukarno atau Panglima Besar Jenderal Soedirman.
 
Tak hanya itu, ketika tentara dan rakyat Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan, seringkali Nyai Ahmad Dahlan mempersilakan rumahnya sebagai tempat berlindung. Beliau juga kerapkali mengimbau kepada para muridnya untuk bergabung dengan angkatan perang Indonesia.
 
Nyai Ahmad Dahlan kemudian meninggal dunia di Kauman, Yogyakarta, tanggal 31 Mei 1946, dalam usia 74 tahun.
 
Nyai Ahmad Dahlan kemudian didaulat menjadi pahlawan nasional oleh pemerintah RI Melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 42/TK Tahun 1971.
 
Fikri Hidayat di Januari 02, 2021
Dipublikasikan oleh LPPA Karanganyar
Shared Post: